Penyakit layu Fusarium pada pisang, dikenal juga sebagai penyakit Panama, disebabkan oleh patogen Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc). Patogen ini memiliki beberapa ras dimana setiap ras menyerang jenis kultivar tertentu (Ploetz 2006). Ras-ras Foc tersebut adalah:
- Ras 1 menyerang tanaman pisang dari jenis Gros Michel
- Ras 2 menyerang tanaman pisang dari jenis Bluggoe
- Ras 3 menyerang tanaman pisang dari jenis Heliconia species (pisang hias)
- Ras 4 menyerang tanaman pisang dari jenis Cavendish. Foc ras 4 juga lebih banyak menyerang di daerah tropis seperti di Asia dan Australia bagian utara, sehingga menjadi ancaman pada perdagangan ekspor pisang .
Perkembangan penyakit layu Fusarium pada bibit pisang Cavendish |
Serangan layu Fusarium akan menunjukkan gejala berupa daun bagian bawah menguning dan batang semu sudah pecah. Selanjutnya daun menjadi coklat dan mengering (Sitepu et al. 2014). Serangan yang berat akan mengakibatkan tangkai daun yang berada disekeliling pseudostem (batang semu) patah dan akhirnya tanaman mati. Apabila batang tanaman yang terinfeksi dibelah secara vertikal atau horizontal, maka akan nampak bahwa pada jaringan pembuluh (xilem) terdapat garis-garis berwarna coklat kemerahan sampai kehitaman (Kasutjianingati et al. 2011). Hal ini sebagai indikasi bahwa jaringan pembuluh tersebut telah mati.
Pertumbuhan dan pensporaan (sporulasi) cendawan Fusarium oxysporum f. sp. cubense sangat dipengaruhi oleh pH tanah dan suhu. Foc tumbuh dengan baik pada pH tanah 4,5 - 6,0. Pada pH tanah di bawah 7,0 (pH asam) pensporaan akan 5-20 kali lebih besar dibandingkan pada tanah yang mempunyai pH di atas 7. Suhu optimum untuk pertumbuhan Foc ialah antara 20C dan 30C sedangkan suhu optimum untuk pensporaan adalah 20-25C (Djaenuddin 2011).
Populasi nematoda juga mempengaruhi kejadian dan keparahan penyakit layu Fusarium. Menurut Sitepu et al. (2014) jumlah populasi nematode R. similis berkorelasi positif dengan kejadian penyakit layu Fusarium dan jumlah propagul Foc di lapangan. Apabila jumlah populasi R. similis tinggi maka akan semakin tinggi pula kejadian penyakit layu Fusarium. Hal ini terjadi karena luka yang disebabkan oleh R. similis di lapangan dapat mempercepat penetrasi inokul jamur Foc ke dalam jaringan akar pisang sehingga tingkat kejadiannya menjadi tinggi.
Manajemen pengendalian terpadu perlu dilakukan untuk mencegah meluasnya serangan layu Fusarium. Perlakuan pra-tanam pada lahan dengan rotasi tanaman, pemberoan lahan dan solarisasi (menutupi lahan dengan plastik polietilen transparan selama 10 bulan) dapat menekan populasi inokulum Foc (Hermanto et al. 2012). Perlakuan yang paling efektif ialah solarisasi karena dapat memanaskan tanah dan meningkatkan suhu tanah hingga 52,35C, dimana pada suhu tersebut patogen mati sehingga menekan populasi inokulum Foc di dalam tanah, dan mengurangi insiden infeksi layu Fusarium pada pisang.
Pengendalian layu Fusarium menggunakan agensia pengendalian hayati juga penting dilakukan terutama untuk menujang pertanian yang berkelanjutan. Salah satu yang berpotensi ialah bakteri Streptomycete endofit. Streptomycete endofit ini diisolasi dari permukaan akar pisang sehat. Hasil uji antibiosis yang dilakukan oleh Cao et al. (2005) menunjukkan bahwa total 24 strain Streptomycete endofit yang diisolasi bersifat antagonis terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense. Pada pengujian antibiosis pada jaringan batang semu pisang yang diautoklaf juga menunjukkan bahwa distribusi miselia patogen Foc menurun di dekat koloni starin Streptomycete endofit yang digunakan.
Fusarium oxysporum nonpatogenik juga berpotensi digunakan dalam pengendalian layu Fusarium. Mekanisme pengendalian oleh F. oxysporum nonpathogenik dapat terjadi melalui antagonisme langsung dari strain patogenik ke patogen dan antagonisme tidak langsung melalui tanaman inang (Fravel 2003). Antagonisme langsung terjadi karena adanya parasitisme, antibiosis dan kompetisi dari strain Fusarium oxysporum nonpatogenik ke patogen. Kompetisi yang terjadi adalah kompetisi untuk mendapatkan makanan dan kompetisi untuk bisa menginfeksi akar tanaman inang. Mekanisme tidak langsung melalui tanaman inang terjadi karena Fusarium oxysporum nonpatogenic mengimbas (induce) tanaman untuk membentuk ketahanan terhadap infeksi layu fusarium ini.
Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtilis merupakan mikroba perakaran, yang juga berpotensi mengendalikan layu fusarium. Hasil penelitian Susanna (2006) menunjukkan bahwa aplikasi bakteri antagonis (Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtilis) dapat memperpanjang periode inkubasi penyakit layu Fusarium karena kehadiran agen antagonis tersebut bersaing dengan patogen mendapatkan ruang dan makanan sehingga memperlambat terjadinya kontak dan penetrasi patogen Foc ke inangnya. Mikroba antagonis P. fluorescens dan B. substilis juga menekanan laju keparahan penyakit melalui mekanisme antibiosis, dimana senyawa antibiotik (berupa senyawa siderofor) mampu mengkelat Fe dan menghambat pertumbuhan patogen melalui kontak langsung antara agens dengan patogen (Kasutjianingati 2011). P. fluorescens dan B. substilis juga memparasit patogen dengan cara mensekresikan enzim ekstraseluler (kitinase, protease, selulase) yang merusak dan mendegradasi dinding sel Foc sehingga perkembangannya menjadi terhambat.
Penerapan bioteknologi melalui pembentukan tanaman pisang transgenik tahan layu Fusarium juga dilakukan untuk pengendalian penyakit ini. Tanaman pisang disisipi gen chit42 dari Trichoderma harzianum (Hu et al. 2013). Uji in vitro dengan PCR menunjukkan bahwa tanaman pisang transgenic mengekspresikan gen chitinase. Hasil uji ex vivo, juga menguatkan bahwa tanaman transgenic yang ini tahan terhadap layu Fusarium. Secara umum, hasil analisis secara in vitro dan ex vivo menunjukkan terekspresinya gen chit42 pada pisang transgenik pada tingkat resistensi yang tinggi terhadap serangan layu fusarium.
Referensi
Cao L, Zhiqi Qiu, Jianlan You, Hongming Tan, Shining Zhou 2005. Isolation and characterization of endophytic streptomycete antagonists of fusarium wilt pathogen from surface-sterilized banana roots. FEMS Microbiology Letters 247: 147–152.
Djaenuddin N 2011. Bioekologi penyakit layu fusarium Fusarium oxysporum. Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tanggal 7 Juni 2011 di Hotel Singgasana Makassar. http://www.kompertanindo.org/wp-content/uploads/2014/09/18-Nurasiah-Dj-Bioekologi-penyakit-layu-fusarium.pdf. Diakses pada 19 April 2015.
Fravel D, C Olivain and C Alabouvette 2003. Research review: Fusarium oxysporum and its biocontrol. New Phytologist 157: 493 – 502.
Hermanto C, Eliza, I Djatnika, Deni E, Mujiman dan Subhana 2012. Pre-planting treatments for management of banana fusarium wilt. ARPN Journal of Agricultural and Biological Science 7(4): 260-265.
Hu Chun-Hu, Yue-Rong Wei, Yong-Hong Huang and Gan-Jun Yi. An efficient protocol for the production of chit42 transgenic Furenzhi banana (Musa spp. AA group) resistant to Fusarium oxysporum. In Vitro Cellular & Developmental Biology 49 (5): 584-592.
Kasutjianingati, Roedhy P, Widodo, Nurul K dan Darda E 2011. Efektifitas aplikasi in-vitro rizobakteri sebagai agen antagonis layu fusarium pada pisang Rajabulu/AAB di rumah kaca. J. Hort. Indonesia 2(1): 34-42.
Ploetz RC 2006. Fusarium wilt of banana is caused by several pathogens referred to as Fusarium oxysporum f. sp. cubense. The American Phytopathological Society 96(6): 653-656.
Sitepu FE, Lisnawita, dan Mukhtar IP 2014. Penyakit layu fusarium (Fusarium oxysporum f.sp. cubense (E.F.Smith) Synd. & Hans.) pada tanaman pisang (Musa spp.) dan hubungannya dengan keberadaan nematoda Radopholus similis di lapangan. Jurnal Online Agroekoteknologi 2(3): 1204 – 1211.
Susanna 2006. Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen biokontrol penyakit layu (Fusarium oxysporum f.sp. cubense) pada tanaman pisang. J. Floratek 2 :114- 121.
EmoticonEmoticon